Kamis, 24 Desember 2009

FISIOLOGIS TERJADINYA EFEK SAMPING

Obat anti-inflamasi anti-steroid
Obat anti inflamasi non steroid, atau biasa disingkat OAINS, adalah obat-obat yang memiliki efek analgesik, antipiretik dan, bila diberikan dalam dosis yang lebih besar, akan memberikan efek anti inflamasi. OAINS mengurangi nyeri, demam, dan inflamasi (peradangan). Istillah “non steroid” digunakan untuk membedakan obat-obat ini dari obat golongan steroid, yang memiliki peran eikosanoid yang hampir serupa – efek depresi, dan anti inflamasi. Sebagai analgesik, kekhususan dari obat OAINS adalah obat ini bukan golongan narkotik. Yang termasuk ke dalam kelompok obat-obatan ini adalah aspirin, ibuprofen, dan naproxen. Paracetamol (acetaminofen) memiliki efek anti inflamasi yang kecil, dan bukan tergolong OAINS.

Sebagian besar obat OAINS bekerja sebagai inhibitor non selektif enzim siklooksigenase, dimana obat ini menghambat isoenzim siklooksigenase 1 (COX-1) dan siklooksigenase 2 (COX-2). Siklooksigenase mengkatalisis pembentukkan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Asam arakidonat ini dihasilkan dari lapisan ganda fosfolipid oleh fosfolipase A2). Prostaglandin bekerja sebagai molekul pembawa dalam proses inflamasi.

Obat OAINS biasanya diindikasikan untuk pengobatan kondisi akut dan kronik dimana ditemukan nyeri dan inflamasi.

Obat OAINS biasanya diindikasikan untuk mengurangi gejala-gejala pada kondisi berikut ini (Rossi, 2006):
• Artritis reumatoid
• Osteoartritis
• Gout akut
• Dismenorea
• Sakit kepala dan migren
• Nyeri paska operasi
• Nyeri derajat ringan sampai sedang akibat inflamasi dan cedera jaringan
• Pireksia (Demam)
• Ileus
• Kolik ginjal
Pemakaian obat OAINS yang luas menyebabkan efek samping obat golongan ini menjadi meningkat. Dua reaksi samping utama (adverse drug reactions / ADRs) yang berkaitan dengan OAINS berhubungan dengan saluran cerna dan ginjal.

Efek ini bersifat “dose-dependent”, dan pada sebagian besar kasus bisa menyebabkan perforasi ulkus, perdarahan saluran cerna bagian atas, dan kematian. Sekitar 10%-20% pasien-pasien yang menggunakan OAINS mengalami dispepsia, dan efek samping saluran cerna akibat penggunaan OAINS diperkirakan menyebabkan 103.000 pemakaian dirawat di rumah sakit, dan menyebabkan 16500 kematian di Amerika Serikat, dan juga mewakili 43% pasien yang datang ke bagian gawat garurat rumah sakit. Kejadian ini sebenarnya bisa dihindarkan; dari ulasan terhadap kunjungan dokter dan resep yang dibuat menunjukkan adanya 42% peresepan obat OAINS yang tidak diperlukan (Green, 2001).

Efek samping utama (ADRs) terkait penggunaan OAINS menyebabkan iritasi langsung maupun tidak langsung saluran cerna. Ada 2 mekanisme kerja obat OAINS yang bisa menyebabkan kerusakan pada saluran cerna – molekul-molekul obat OAINS yang bersifat asam akan langsung mengiritasi mukosa gaster; dan inhibisi enzim COX-1 akan mengurangi kadar prostaglandin yang bersifat protektif terhadap mukosa gaster.

Efek samping (ADRs) saluran cerna yang biasa ditemukan adalah (Rossi, 2006):
• Mual / muntah
• Dispepsia
• Tukak lambung / perdarahan lambung
• Diare
Resiko terjadinya ulserasi meningkat sejalan dengan lama pemberian obat, dan juga berkaitan dengan pemberian dosis yang lebih tinggu. Untuk mengurangi efek samping terhadap saluran cerna, sangatlah penting untuk memberikan dosis terkecil yang efektif untuk waktu yang pendek.

Indometasin, ketoprofen dan piroksikam cenderung memiliki efek samping saluran cerna yang paling tinggi, sementara ibuprofen (dosis rendah) dan diklofenak cenderung memiliki efek samping yang lebih rendah (Rossi, 2006)
Beberapa obat OAINS, seperti aspirin, telah dipasarkan dalam bentuk ‘enteric-coated” yang mana dikatakan dapat mengurangi efek samping saluran cerna. Akan tetapi, mengingat mekanisme kerja dari obat OAINS ini dan dalam praktek sehari-hari, bentuk seperti tersebut diatas tidak menunjukkan adanya pengurangan resiko ulserasi saluran cerna (Rossi, 2006)

Biasanya, efek samping saluran cerna dapat dikurangi melalui pemberian obat penekan asam, seperti proton pump inhibitor, seperti omeprazole; atau analog prostaglandin, misoprostol. Penggunaan misoprostol sendiri juga menyebabkan kejadian diare yang tinggi.

Mucosta adalah obat anti-gastritis dan gastropati yang mengandung zat aktif rebamipide dengan berat molekul 370,79. Mucosta digolongkan sebagai obat anti-inflamasi karena mengobati inflamasi di mukosa saluran cerna dengan cara menghambat pelepasan radikal bebas superoksida dan mengeliminasi radikal bebas hidroksil radikal serta menghambat pelepasan sitokin inflamasi. Selain itu, Mucosta merupakan gastrobioregulator yang dapat menjaga ketahanan mukosa lambung dan memperbaiki kerusakan jaringan melalui regulasi sistem biologik yang dimiliki lambung itu sendiri

Mucosta dianjurkan dalam penatalaksanaan gastritis, gastropati (misalnya akibat NSAIDS, steroid, atau antibiotik), ulkus lambung, dan pencegahan lesi akut mukosa saluran cerna akibat pemakaian NSAIDs, steroid, antibiotik, dan lain-lain. Obat ini mempunyai daya penetrasi yang kuat ke dalam jaringan mukosa saluran cerna dengan absorpsi ke dalam darah yang minimal. Mucosta tidak berinteraksi dan tidak mengganggu absorpsi obat lain yang sering diberikan bersamaan (misalnya, NSAIDs, antibiotik) sehingga tidak menganggu efektivitas obat tersebut.

Pada pendekatan Cara Baru (New Fashion) dalam mencegah terjadinya efek samping obat NSAID, dapat menggunakan obat yang mengurangi terjadinya inflamasi, pelepasan radikal bebas oleh obat NSAID, serta memiliki efek PG inducer. Mucosta terbukti dapat mengobati lesi dan mengurangi proses inflamasi di saluran cerna akibat penggunaan obat NSAID. Uji klinis terbaru oleh Niwa dan Goto di tahun 2008 melaporkan bahwa pemberian obat Mucosta bisa mencegah kejadian lesi di saluran usus halus akibat pemberian Diklofenac. Pada penderita yang diberikan obat Mucosta persentase kejadian erosi multiple, ulkus, perdarahan dan kemerahan lebih kecil dibandingkan kelompok placebo (20% vs 80%, p = 0.023).

Bukti klinis terdahulu menginformasikan penggunaan obat Mucosta sebagai prevensi lesi saluran cerna, seperti Kitagami pada pasien rematik yang mendapatkan obat NSAID, Damman pada individu yang menerima aspirin, dan Naito pada individu yang menerima indometasin

Selain itu, uji klinis internasional yang dilakukan di Korea, Cina dan Thailand, juga menunjukkan bahwa efektifitas obat Mucosta dalam mencegah ulkus gastroduodenum yang diinduksi obat NSAID setara dengan misoprostol dengan profil keamanan yang lebih baik (efek samping saluran cerna yang secara signifikan lebih rendah).

Referensi :
1. NSAIDs – Wikipedia, the free encyclopedia
2. Mucosta – Product Monograph
3. Damman, H. European J. Gastroenterol & Hepatology 1994, Vol. 6. No 10: pp 911 – 915
4. Kitagami, K. The Journal of Adult disease 1993, Vol. 23. No. 9, p 1477.
5. Naito, Y. Digestive Disease and Science 1998, Vol. 43. No 9, pp 30S – 34S.
6. Park, SH. J Clin Biochem. Nutr., 2007. No. 40, pp 148 – 155.
7. Niwa, Y. Journal Gastroenterology 2008, Vol. 43. No. 4, pp 270 – 276

Tidak ada komentar:

BAGIKAN KE Facebook